Pantai berwarna jingga ketika suara adzan Shubuh yang mendayu, debur ombak di hadapan Urip, bocah gelandangan yang merindukan kampung halamannya di Indramayu. Dalam film berdurasi panjang dengan judul Pengkhianatan Gerakan 30 September. Urip (Dani Marsudi), menggelandang di ibu kota bersama ibunya (Sofia WD), menyaksikan langsung Jakarta nan muram di tahun 60an.
Kala penduduk Jakarta antri beras dan juga minyak tanah. Sebagian besar anak anak seumuran Urip, bermain dengan telanjang dada, kulit kaki borokan di kerubungi lalat. Sutradara Arifin C Noer membawa pemandangan kemiskinan di era akhir Orde Lama. Sebuah keluarga yang mencak mencak karena Partai Komunis yang kerap mempengaruhi kebijakan politik Soekarno.
Secara visual Urip hidup di era 60an menghadapi persoalan ekonomi yang menghimpit, termasuk menghadapi masalah pertentangan politik yang kian meruncing, perseteruan Partai Komunis yang berebut pengaruh dengan Angkatan Darat. Skenario film Pengkhianatan Gerakan 30 September di tulis oleh Arifin C Noer dan Nugroho Notosusanto, dari tujuh nominasi di FFI 1984, film ini hanya menyabet satu penghargaan yakni Skenario Asli Terbaik.
Terlepas dari kontroversial, setelah tahun 1998, ketika jatuhnya Soeharto. Film yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara Departemen Penerangan, rekor jumlah penonton yang mencapai 699.282 orang di akhir tahun 1984, menjadikan film ini menjadi film terlaris di Indonesia, sebelum dipecahkan oleh Film Petualangan Sherina di tahun 2000, dengan jumlah penonton 1.600.00.
Belum kalau menghitung jumlah penonton televisi yang melihat film ini, karena setiap tanggal 30 September selalu tayang di TVRI. Saya masih SD ketika menonton film Pengkhianatan Gerakan 30 September di sebuah televisi hitam putih. Belum bisa membedakan kengerian yang terjadi karena warna filmnya hitam putih, padahal aslinya berdarah darah.
Melihat film yang di produseri Gufran Dwipayana, seakan membentang waktu zaman SD,SMP,SMA dan masa bekerja.Hingga akhirnya pemutaran film dihentikan di tahun 1998, pasca tumbangnya Soeharto.Ramai ramai menuding film Pengkhianatan Gerakan 30 September, ada yang menganggap film ini banyak memiliki kekeliruan sejarah yang menyertainya. Namun siapa berani berkata begitu, ketika rezim Orde Baru sedang jaya jayanya.
“Sebat”Untuk Kaum Kiri
Jutaan orang merasa terselamatkan setelah menghisap Nicotania tabacum. Terlihat DN Aidit(Syu’bah Asa) selalu berasyik masyuk dengan namanya rokok, ngebul terus. Adegan pembuka yang melibatkan rokok sebagai penguat jalan cerita, adalah ketika pertemuan antara Syam Kamaruzaman (Harto Kawel), di rumah DN Aidit tanggal 12 Agustus 1965.
Pimpinan PKI saling mengepulkan asap rokok dalam sela sela pembicaraan.
Anak milenial pasti tahu sekali apa itu yang dinamakan “sebat”, bocah kekinian menyebut rokok sebagai sebat. Ada beberapa adegan yang kerap memunculkan sebat atau merokok. Terutama sih para punggawa Partai Komunis Indonesia saat melakukan diskusi atau pun pertemuan partai. Serasa nonton film gangster karena kepungan asap, padahal sedang menonton film yang di angkat dari kisah sebenarnya.
Peneguhan kaum kiri doyan merokok terlihat jelas saat poto poto jenderal yang akan di culik, dikempit jari sambil tetap merokok. Entah untuk kepentingan artistik film, sehingga properti rokok mendominasi saat diadakannya rapat petinggi PKI,atau memang di kehidupan nyata, mereka penggemar rokok.
Berbeda adegan ketika para jenderal bertemu atau berdiskusi, tak ada hamburan puntung di asbak, sikap sempurna sambil memegang tongkat komando. Bahkan dalam situasi genting dan mendengarkan radio mendengarkan informasi terbaru, tak sebatang rokok yang terlihat, apalagi kepulannya. Entah mengapa sang sutradara tak memasukan adegan merokok, atau memang saat berseragam militer terlihat lebih elegan tanpa harus merokok,apalagi dalam keadaan sedemikian genting.
Melongok Kerasnya Nasib Gelandangan Zaman Orde Lama
Secara sisi waktu dan sejarah, film Pengkhianatan Gerakan 30 September, mempunyai tautan kisah dengan alur film Gie yang rilis pada tahun 2005. Bernuansa gonjang ganjing politik pertengahan tahun 60an di tanah air. Jika Gie menuliskan kemiskinan dengan nada satire yang dialaminya secara nyata.
Penggambaran kaya makna, tentang seorang miskin yang memakan kulit mangga, sedang Paduka Yang Mulia Presiden yang berada istana sedang bersenda gurau dengan isteri isterinya. Padahal jarak yang terbentang hanya dua ratus meter saja. Secuil akting Sofia WD seakan mewakili betapa beratnya gelandangan di era Orde Lama.
Bersama anaknya bernama Urip, menuju Jakarta setelah suami tercinta di bunuh oleh PKI. Namun ibu kota malah membuat ibu dan anak terlunta dari emperan ke emperan toko, kerap diguyur pemilik toko jika masih tertidur jika toko buka. Nasib Urip dan Emaknya tak jauh beda dengan rakyat jelata lainnya.
Dengan lagu Bersuka Ria yang berirama riang, namun film menampilkan suasana muram karena antrian kebutuhan pokok yang terbatas dengan harga yang kian melangit. Urip dan ibunya hanya beberapa kali tampil di film, namun Arifin C Noer berhasil menempatkan sudut pandang pas untuk memotret kemiskinan saat itu. Dalam scene lain Urip merindukan Indramayu, setelah mencicipi kejamnya ibu kota yang tidak sedang baik baik baik saja.
Urip merindukan daging ayam yang hanya bisa disantap oleh para raja. Sumpah melihat cara gelandangan di era 60an yang di lukiskan film ini, jadi berpikir tak mudah bagi seseorang,apalagi hidup menggelandang ketika ekonomi tanah air hiper inflasi, pertarungan politik, hingga berebut pengaruh para politisi untuk dekat dengan Paduka Yang Mulia Presiden.
Darah Itu Warnanya Merah, Jenderal!
Sejujurnya diksi ini yang membuat film Pengkhianatan Gerakan 30 September akan dikenang, kisah pedih para Jenderal yang di bunuh. Tak terbayangkan kengerian yang terjadi saat itu, dirasakan para Jenderal. Di aniaya oleh prajurit yang pangkatnya lebih rendah. Tercetus kata “Darah itu warnanya merah Jenderal!”
Sebuah kata ikonik yang nyaris menjadi legenda di film ini. Meski orang meragukan para Jenderal di sayat sayat sebelum di masukan ke lubang. Namun tetap saja faktanya para Jenderal itu meninggal. Menari dengan di iringi lagu Genjer Genjer, bagian yang tak terlupakan di film ini. Tudingan film propaganda Orde Baru kian menguat setelah reformasi.
Pengamat sejarah,Hilmar Farid menyebutkan film ini mewakili pandangan Soeharto tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965, diracik dengan bumbu fantasi Presiden RI ke 2. Dengan gelontoran dana sebesar 800 juta, untuk ukuran tahin 1984, ketika harga satu liter bensin dibanderol Rp 350,sangat mungkin Arifin C Noer mengkreasikan kreatifitas untuk total menghidupkan ruh film menjadi kolosal, dengan pemeran figuran mencapai 10.000.
Di akhir cerita, penonton mendapat gambar gambar asli peristiwa pemakaman para Jenderal,sepanjang jalan menuju pemakaman.Rakyat berjejer di tepi jalan untuk memberikan penghormatan terakhir, suara Jenderal Abdul Haris Nasution terdengar mengharu biru. Dalam satu malam tujuh Jenderal dibunuh, satu perwira menengah,satu Kapten dan Ajun Inspektur Polisi.
Tak dinyana Urip dan Emaknya hadir juga memberikan penghormatan terakhir,penyisipan adegan ini termasuk unik di zamannya,Urip si gelandangan cilik terlihat berhimpitan dengan anak anak lainnya yang ingin menyaksikan iring iringan jenazah.
Nobar Akhir September
Bulan ke sembilan dalam kalender masehi, bagi bangsa Indonesia menyisakan jejak kelam. Hingga saat ini suara rakyat Indonesia seperti terbelah jika berada di akhir bulan September. Tentang perlunya nobar atau tidak film Pengkhianatan Gerakan 30 September. Penghentian pemutaran film ini di mulai pada tanggal 24 September 1998.
Menteri Penerangan saat itu, Yusuf Yosfiah menghentikan pemutaran film di stasiun TVRI, setelah tayang rutin 14 tahun di televisi milik pemerintah, akhirnya film besutan Arifin C Noer harus masuk kotak. Namun saat ini, ketika bulan September, masyarakat secara suka rela mengadakan nonton bareng film Pengkhianatan Gerakan 30 September.
Kehadiran film Pengkhianatan Gerakan 30 September, menjadi bagian penting perjalanan perfilman tanah air. Selama lebih satu dekade mampu bertahan sebagai film terlaris tanah air. Meski panen kritikan namun film ini adalah sejarah perfilman Indonesia. Dari mulai sanjungan dan puja puji, hingga kritikan tajam pernah dialami.
Semoga di lain waktu hadir film sejarah yang otentik, biasanya sih pelaku sejarah yang menang akan menuliskan sendiri sejarahnya.Menang mah bebas, mungkin ya. Saling jujur antara yang berseteru, agar generasi yang tidak mengalami langsung, jadi tahu kebenaran yang hakiki.
[